Viva Las Vengeance Review
- Ari W.P
- Aug 23, 2022
- 9 min read

Setelah 4 tahun sejak Pray for the Wicked dirilis, akhirnya Panic! at The Disco rilis album ketujuhnya, dengan judul Viva Las Vengeance yang diambil dari slogan Las Vegas--tempat kelahiran sang frontman, Brendon Urie. Seperti biasa, P!ATD selalu menyuguhkan konsep dan style baru disetiap albumnya. Kali ini, mereka mengusung vibes ala 70an dengan sound yang (menurut Jake Sinclair--sang produser utama) terinspirasi berat dari Queen dan Frank Sinatra. Walaupun klaimnya demikian, rasanya influence Sinatra bisa dibilang sangat sedikit, bahkan nyaris absen dialbum ini.
Dimulai dengan title track dengan judul yang sama, P!ATD berhasil menyita perhatian fans dengan gaya musiknya yang seolah menjadi versi dewasa dan versi "malam" dari album Pretty Odd. Meskipun album ini membawa warna dan sound yang lebih fresh, namun album ini direkam seluruhnya ke kaset, biar vibes 70an semakin berasa. Ada 14 tracks baru yang asyik buat direview. So here we go...
Viva Las Vengeance
Dengan beat yang cukup bikin syok pas pertamakali denger, lagu ini cukup catchy dan seolah memberi coretan besar yang menegaskan sound yang akan dibawakan sepanjang album ini. Lagu ditutup dengan high note khas Brendon yang ga kalah keren dari high note di Say Amen (Saturday Night). Dari segi lirik, Viva Las Vengeance menceritakan sisi kelam dari fame dan kesuksesan di Las Vegas yang bisa bikin burnout dan overwhelming.
Lirik "I don't wanna be a diva" seperti bertentangan dengan lirik "Keep telling yourself I'm a Diva" dari lagu There’s a Good Reason These Tables Are Numbered Honey, You Just Haven’t Thought of It Yet yang dirilis di 2005 lalu. Sebuah lagu opening era yang cukup solid dan memumpuni. Sayangnya tidak diikuti dengan promosi yang maksimal. Malah, bisa dibilang tidak dipromosikan sama sekali. Lagu ini juga mendapat respon positif dari para kritikus karena komposisinya yang unik dan feel a la 70an yang benar-benar hidup.
Middle Of A Breakup
My least favorite among the four singles. Lagu ini dirasa terlalu messy dan all over the place. Versenya nggak membawa kita ke chorus yang diharapkan. Liriknya juga penuh tanda tanya karena banyak metafor yang nggak tepat dan justru bikin liriknya makin sulit dicerna. Selain itu, liriknya juga cukup lemah kalau dibandingkan dengan Viva Las Vengeance. Bukan karena tema hookup culturenya, tapi bagaimana lirik tersebut di-delivery ke pendengar. Sinclair, Urie dan Viola better take notes from Taylor Swift's Wildest Dreams kalau mau nulis lagu tentang hookup dan tetap punya lirik yang kuat. Kalau boleh jujur nggak ada satu positive comment dari gue buat lagu ini. Mungkin buat kalian yang suka vibes retro-art deco-ish bisa enjoy komposisi lagunya, namun buat gue yang nggak begitu selera dengan aesthetic retro-disco ala 70an, is a huge skip. Banyak yang kontra juga karena banyaknya straining vocal yang nggak perlu. Cukup mengecewakan sih, lagu ini harus dipilih sebagai single kedua karena Viva Las Vengeance benar-benar memberi tanda besar kalau seharusnya single-single selanjutnya akan ga kalah spektakuler dari Viva Las Vengeance.
Don't Let The Light Go Out
Sebagai single ke 4, lagu ini cukup distinctive dan jadi favorit gue dari album ini. Ketika single lain mengambil influence penuh dari tahun 70an, lagu ini mengambil vibes ala 60an yang lebih chill dan sedikit jazzy. Produksinya berhasil memukau mayoritas fans, dimulai dengan heavy riffs a la Queen yang jernih. Agak random tapi lagu ini mengingatkan gue pada film 500 Days Of Summer. Don't Let The Go Out membuat gue menyadari adanya pola unik dari single-single Viva Las Vengeance yaitu, bagian terkuat dari lagu tersebut ada di Pre-Chorus. Lengkingan Brendon terdengar emosional di Chorus yang menambah poin plus. Lyrically (secara personal) jauh lebih baik dari Middle of A Breakup dan Viva Las Vengeance.
"Light" yang berartikan sebuah hubungan, sebagai metafora bahwa si narator tidak ingin hubungannya berakhir. Penggambaran situasi yang menggandakan rasa emosional ketika mendengarkan lagu ini. Seperti yang ada lirik "A rush of blood floods hot thoughts in my head, red roses sitting silently beside the bed". Walaupun ada lirik "You're the only one that knows how to operate my heavy machinery" yang kayaknya dimaksudkan sebagai metafora, jadi ambigu. Gue mengartikannya sebagai sifat, organ tubuh, kesehatan mental, keseluruhan emosional sang narator yang complicated. Overall, rasanya sebuah kesalahan langkah dalam rollout album ini karena Don't Let The Light Go Out pantas untuk menjadi single kedua.
Local God
Ini dia single ketiga. Refleksi diri sebagai selebriti dengan ketenaran yang nggak benar-benar mencapai maksimal. Sebagai selebriti, Brendon dituntut sebagai manusia tanpa cela, sempurna dan tanpa cacat sedikitpun seolah-olah dirinya adalah Tuhan (God). Namun, karena berbagai hal, Brendon cuma berhasil sampai titik tertentu, yang membuatnya terkenal, namun ya pada genre tertentu saja. Dari verse pertama, si narator (Brendon) punya segalanya untuk mendapat kesuksesan, ketenaran. Namun dia nggak tertarik dengan hal-hal tersebut.
Rasanya aman untuk berasumsi ini adalah salah satu lagu personalnya Brendon karena pada sekitar 2007 atau 2006, Brendon pernah menyatakan bahwa dia sempat tidak pede, dan ragu ketika ditunjuk jadi frontman band. Brendon menyentil para haters dan pembuat hoax tentang dirinya di 2020 dengan lirik "You’ll live forever as a local God, It’s even better than the thing you’re not". Brendon merasa lebih nyaman dengan fame yang levelnya lokal dan segitu-gitu aja ketimbang terkenal sebagai 'seseorang' yang bukan dirinya dan kenyataanya. Rasanya line ini dibuktikan dengan minimnya promosi album Viva Las Vengeance dan single-singlenya. Local God mempunyai isu yang sama dengan Middle Of A Break Up yaitu verse yang lebih baik dari chorusnya dan malah jadi merusak feel dari lagu yang sudah di-set dengan chorus yang baik.
Star Spangled Banner
Meminjam judul dari lagu nasional Amerika, seolah menjadi anthem dari era ini karena layering vocals dan drumsnya yang begitu terasa massive. Opening lagunya membuat gue mempunyai ekspektasi cukup tinggi, namun dipatahkan dengan verse yang justru berasa kayak verse dari lagu yang berbeda. Liriknya cukup light dan diulang-ulang sepanjang lagu. I wouldn't say this is my favorite, but I love how the anthem-like vibes in the chorus really define the theme of the song. Versenya mengingatkan gue pada LA Devotee. Di verse pertamanya, si narator menunjukkan bahwa walaupun dulu dia hidup bebas tanpa beban, tidak begitu mementingkan pendidikan dan asyik main cewek, somehow, dia bisa sukses and made it his way. Nggak banyak yang bisa gue bahas dari lagu ini karena memang nggak banyak konten, lirik ataupun intrepertasi yang bisa dibahas lebih lanjut.
God Killed Rock and Roll
Bagai lovechild dari lagu Queen dan Billy Joel, God Killed Rock and Roll adalah salah satu track favorit dari album ini. Pengartian gue pada lagu ini adalah si narator merasa Rock and Roll sudah tidak sepopuler dulu, jadi dia harus angkat kaki dari Las Vegas dan segala hingar bingar dan budaya a la rockstar. Si narator tumbuh dengan lagu rock and roll, yang jadi inspirasi besar untuk menjadi salah satu dari rockstar. Rock and roll seakan jadi penyelamat si narator dari kesedihan, keterpurukan yang dialami. Namun begitu ia dewasa, pasar rock and roll seolah hanyut ditelan bumi dan he left Vegas for good.
Jadi salah satu track dengan performance vocal terbaik dari Brendon juga. Tidak ada cracks, ataupun straining yang jadi isu utama di Middle Of A Breakup. High note placement yang tepat, produksi yang bikin gue keep up sepanjang lagu. Influence Queen benar-benar terasa dengan bagaimana intro dan outro dibawakan dengan vocal layering dan piano yang begitu mendominasi. Bisa dibilang ini lagu terbaik kedua dari Viva Las Vengeance. Produksi yang sangat solid dan nggak ada misplacing. Lirik yang cukup menggambarkan kesedihan si narator yang mimpinya harus pupus karena seakan sudah ditakdirkan begitu.
Say It Louder
Bagai adik dari Star Spangled Banner, Say It Louder juga mempunyai lirik yang kurang lebih menyemangati para pendengar untuk tetap mengejar mimpinya dan semangat dalam menjalani keinginan mereka. Pernah denger istilah 'filler track'? Yap, Say It Louder dirasa sebagai filler track dari Viva Las Vengeance biar tracksnya terkesan banyak. Kalaupun nggak ada di album, nggak akan ngaruh apa-apa dan albumnya akan baik-baik saja. Atau bisa dibilang performanya akan lebih baik.
Tapi bridgenya jadi salah satu favorit gue karena vibes theatrical dan pianonya mendominasi dengan apik. Lirik di bridge bisa dibilang cukup sedih sih, seolah menghibur diri untuk mengumpulkan nyali dan tetap tampil di panggung. Secara produksi, Say It Louder slightly lebih baik dari Star Spangled Banner karena seluruh lagunya masih cohesive dan nggak bikin nyaut "Lah apaan nih? Kok beda gini?".
Sugar Soaker
Biasanya kalau Panic! bikin lagu dengan tema seks, pasti enak dan addictive. Entah kenapa Sugar Soaker terlalu banyak hole yang nggak bisa ditutupi oleh produksi ataupun lirik. Walaupun begitu produksinya bener-bener ngasih vibes film action tahun 80an. Gue cukup suka karena irama pianonya pake crotchet/quarter note yang bikin lagunya tetap asyik dan playful.
Tapi ada line yang membuat pendengar penuh tanda tanya, yaitu lirik "You're a car, you're a woman, you're a drug". Mungkin ini sebagai simile, mengibaratkan si cewek ini bikin nagih kayak obat-obatan. Namun, you're a car? Metafor tidur dengan si wanita dan menggambarkannya sebagai kendaraan cukup aneh. Lagi-lagi, Sugar Soaker mengikuti jejak Local God dan Middle Of A Breakup dimana versenya jauh lebih menarik ketimbang chorusnya.
Something About Maggie
Andai aja track ke sembilan ini dijadikan soundtrack suatu film musikal, it will do more justice. Walaupun begitu, lagu ini berasa lagu karnaval atau theme park. Something About Maggie terasa seperti 2-3 lagu berbeda yang dijadikan satu lagu. Membingungkan jadi kata yang pantas untuk menggambarkan lagu ini. Namun, produksinya tetap bisa dinikmati karena dia punya elemen yang mirip sama Sugar Soaker. Annoying, aneh, lumayan messy namun tetap menyenangkan untuk didengar. Walaupun mengambil influence 70an, entah kenapa, Something About Maggie terasa seperti long lost track dari album Vices & Virtues (2011). Juga influence dari Pretty. Odd (2008) begitu terdengar jelas dan tentunya dengan sound yang lebih modern dan ada sentilan thetrical a la Vices & Virtues. Perubahan irama di lirik "People say, people say, people away" sedikit menyentil gaya utama dari album A Fever You Can't Sweat Out (2008).
Sad Clown
I'm gonna be real here, this is one of my least favorite tracks in the album. Sad Clown seakan menjadi Into The Unkown-nya Viva Las Vengeance. Terulang lagi problem yang sama dengan beberapa lagu sebelumnya, yaitu versenya jauh lebih nendang ketimbang chorusnya. Juga bagian chorus yang bingungin, entah mulai dari line "Leave me alone" atau "Even though I'm smiling I'm crying". Ada full orchestra di outro lagu yang menambah vibes classic. But sadly it doesn't work nor compliment the song. Lagunya (dan Music Videonya) terasa komedik, tapi outronya orchestra? Kayaknya akan lebih bagus kalau outronya dibuat dialog atau choir ironi macam outro Nearly Witches bagaimana si narator bisa survive sejauh ini padahal dirinya payah dalam segala hal.
Agak disayangkan aja dengan Sinclair bisa 'meloloskan' track yang feel out of the place from the start to the end ini. Another filler in the album. Dari segi lirik, gue juga nggak menemukan sesuatu yang bikin Sad Clown stand out dari tracks lain.
All By Yourself
Walaupun ini lagu temanya juga tentang ironi terhadap diri sendiri, All By Yourself adalah salah satu lagu yang cukup beda dari tracks lainnya. In a good way. Seperti biasa, tracks terakhir di album-album Panic! selalu lagu yang cendrung slow mengarah ke ballad. Beatsnya mengingatkan gue kepada We Are Young-nya fun. Harmoni sepanjang lagunya bikin atmosfir kesedihan lagunya bisa ter-delivery dengan maksimal.
Bridgenya tiba-tiba berubah ke soft-rock yang jelas influence Queen sangat terasa. Chorus terakhir diiringi dengan riff gitar elektrik yang tak hanya menambah aksen namun juga menjadi build-up outro yang indah dan ada sedikit sentuhan edgy. All By Yourself malah kayak jadi lost track dari Death of a Bachelor.
Do It To Death
Kenapa ini dijadikan last track? Kenapa? Ini harusnya jadi track 3 atau 5. Do It To Death adalah peranakkan dari Sugar Soaker dan Thnks Fr Th Mmrs milik Fall Out Boy. Lagi-lagi, outronya menggunakan orchestra. Namun, kali ini orchestranya mengiringi lirik "Shut up and go to bed" dari Viva Las Vengeance yang pantas untuk jadi outro, karena high note Brendon diakhir lagu seakan menjadi jembatan antara lagu dan orchestra outronya. Walaupun lagu ini cukup rapih, kayaknya bakal lebih afdol kalau dua tracks terakhir di Viva Las Vengeance ini adalah lagu-lagu orchestra atau full ballad kayak End of All Things, Dying in LA, Impossible Year namun nggak kehilangan touch of its personality dari album Viva Las Vengeance. Misal kayak Wonderful Tonight-nya Eric Clapton yang outronya tetap bisa dibuat orchestra-ish. Akan apik kalau ada feeling "this is the last track of the album, your journey is going to end now" yang bisa ngebuat para audience buat nge-revisit seluruh tracks karena nggak hanya berasa dengerin album tapi jurnal ironi dari seseorang yang pernah tinggal, dan menikmati hingar bingarnya Las Vegas yaitu Brendon. Pada akhirnya, album ini adalah album yang cukup personal buat Brendon, kan?
Album Viva Las Vengeance ini bisa dibilang diluar dugaan dan ekspektasi gue. Pengalaman first listen album ini berasa lagi naik roller coaster. Dimulai dengan Viva Las Vengeance yang hate turned love type of track, dihempas sama Middle of a Breakup, mulai bangkit karena Local God, menyentuh klimaks dari roller coasternya sama Don't Let The Light Go Out, baru nafas dikit langsung ditarik lagi karena Sad Clown. So far, baru 5 lagu ini yang dibuat MV (MV Sugar Soaker akan dirilis dalam waktu dekat).
Rasanya banyak banget potensi yang kebuang. Mungkin mau eksperimen, namun banyak bagian yang harusnya bisa bikin vibe dan feeling dari suatu lagu ter-enhance malah bikin mengernyit pas denger chorusnya. Kecewa ya nggak, karena banyak tracks yang bakal aging like a fine wine kayak Don't Let The Light Go Out, All By Yourself, Local God, Do It To Death, Sugar Soaker. Cuma sebagai salah satu orang yang udah nungguin 4 tahun untuk kabur dari album Pray For The Wicked, kurang masuk untuk selera gue. Album ini kayak Pray For The Wicked, terlalu banyak love and hatenya.
Emang dasarnya gue kurang enjoy sama vibes-vibes retro 70-80an sih. Tapi buat kalian yang suka aesthetic retro, sound-sound retro, bakal suka deh. Apalagi Om Rivers Cuomo dari Weezer diakhir tahun lalu (2021) sempet ngebocorin kalau album ini bakal ada influence kuat dari Sinatra dan Queen. Sayangnya cuma dapet Queen-nya aja. Gue lumayan berekspektasi dengan statement dari Rivers karena ingin ada semacam redemption karena Death of a Bachelor yang juga nggak memaksimalkan seluruh album untuk punya sound macem Sinatra yang cuma ada di Death of a Bachelor (the song) dan Impossible Year. Padahal aesthetic dari albumnya udah memumpuni banget tuh. Tapi yaudah lah ya, mungkin album ini akan grow on me kayak Waking Up-nya One Republic atau Lover-nya Taylor Swift di gue.
(23.8.22) Untuk saat ini, score yang bisa diberikan adalah 6.9/10
댓글