top of page

Morbius Review

  • Writer: Ari W.P
    Ari W.P
  • Aug 9, 2022
  • 4 min read

Updated: Aug 12, 2022




Alright, review ini tadinya mau gue tulis sehari setelah nonton Morbius, tapi karena banyak kerjaan ngantri, akhirnya ke-pending terus. Oke deh, langsung aja ke disclaimer.


Spoiler warning! Tulisan ini mengandung spoiler dari film Morbius.


Morbius mengisahkan tentang seorang vampir setengah manusa (atau manusia setengah kelelawar?), Michael Morbius yang punya kelainan darah dalam tubuhnya, yang membuatnya harus tranfusi darah terus menerus seumur hidupnya. Hidup dengan kondisi langka ini tentu saja menyulitkan Morbius dan temannya, Lucian (yang Morbius panggil sebagai Milo) untuk berfungsi layaknya orang-orang normal.

Morbius dan Milo tumbuh terpisah dan Morbius sudah menjadi doktor jenius yang sukses menciptakan darah buatan. Sementara Milo telah menjadi orang kaya raya yang terus mendanai laboratorium-laboratorium. Selama hidupnya, Morbius mendedikasikan dirinya untuk mencari obat untuk penyakit langkanya ini. Nggak jarang banyak eksperimen-eksperimen sadis yang dilakukan Morbius demi mendapatkan hasil yang diinginkan. Pada suatu titik, Morbius berhasil menyuntikkan DNA kelelawar yang sudah dimodifikasi kepada dirinya.


Memang, DNA kelelawar ini bisa membuat Morbius segar bugar seolah penyakit langkanya sudah hilang total, sayangnya, eksperimen ini punya efek negatif yang cukup mematikan. Morbius jadi harus meminum darah setiap 60 menit sekali, semakin lama, efektivitas dari darah buatanya berkurang jadi mengharuskan Morbius untuk mengkonsumsi darah setiap 40 menit sekali. Awalnya fine-fine aja karena Morbius punya segudang darah buatan, namun, Morbius baru sadar kalau darah manusia bisa bekerja lebih efektif ketimbang darah buatan. Eits, nggak sampai disitu aja, ada efek lain yang juga ga kalah mematikan, yaitu bisa membuat Morbius hilang kesadaran dan berubah jadi vampir ganas tak kenal ampun. Manusia manapun yang berada disekitarnya bisa dilahap hidup-hidup olehnya demi mendapatkan darah segar.


Kabar soal modifikasi DNA kelelawar ini akhirnya sampai ditelinga Milo. Milo awalnya nyamperin Morbius buat minta obatnya biar sama-sama bisa fit, namun Milo nggak terima dengan penolakan Morbius. Morbius dianggap serakah dan egois oleh Milo, maka dari itu, dia mencuri sampel modifikasi DNA kelelawarnya dan berubah jadi manusia-vampir, persis seperti Morbius. Dari pertengahan ke akhir film, audience difokuskan untuk melihat perjuangan Morbius untuk menghalangi Milo yang nggak mau disembuhkan. Keinginan Milo untuk young, wild, and free lebih besar ketimbang moralitas sesama manusianya membuat Milo secara gelap mata membunuh siapapun kapanpun dia mau. Banyaknya nyawa yang berjatuhan membuat detektif dan kepolisian setempat curiga dan malah menyalahkan korban-korban Milo pada Morbius.


Review dari penonton dan para kritikus cukup beragam. Banyak yang beranggapan film ini nggak lebih dari percobaan tikus yang dilebih-lebihkan, nggak sedikit pula yang merasa film ini nggak seburuk yang dikatakan oleh para kritikus. Memang, film ini bukanlah film blockbuster stand-alone yang bakal diingat bertahun-tahun setelah perilisanya. Beberapa alasan kenapa Morbius banyak dikritik publik dan kritikus:

  1. Plotnya terlalu generik

  2. Alur diawal sampai pertengahan yang terlalu loncat-loncat

  3. CGI yang underwhelming untuk sekelas Sony

  4. Plot hole yang terlalu banyak

  5. Kurang adanya backstory karakter pendukung

Namun ga segala-galanya buruk kok, akting Matt Smith sebagai Lucian/Milo disini cukup oke (alias nggak setragis Jared Leto) dan berpotensial kalau saja filmnya berhasil. Sayangnya ketutupan sama screenplay dan produksi yang tidak memuaskan. Cuma, memang betul ada beberapa adegan yang bikin para penonton bakal cringe se-cringe-cringenya. Salah satunya adegan Milo yang lagi joget di kamar mandi dengan backsong yang er.. nggak nyambung abis sama filmnya. Yang menurut gue ngeselin adalah alurnya terlalu cepat, kita sebagai audience mau emotionally invested in ke karakternya juga nggak bisa karena kita nggak diberi perkenalan yang proper. Juga, masing-masing karakter seolah nggak punya alasan kuat untuk melakukan suatu hal. Misal Milo yang jadi villain cuma gara-gara obat penawar, motif Morbius untuk menggandakan darah buatan tuh apa. Terlalu banyak pertanyaan yang nggak akan bisa dijawab. Ada beberapa scene yang dirasa nggak perlu-perlu amat seperti opening film yang ternyata nggak ada pararel dengan plot utama. Lebih baik dipakai untuk pengenalan karakternya.


Mirisnya, justru karakter Milo seakan ditulis lebih baik ketimbang karakter Morbius. Kejahatan Milo ini rasanya cukup masuk diakal dan sedikit bisa diterima. I totally understand where he's coming from. Milo juga tidak diberitahu secara jelas mengapa DNA kelelawar itu berbahaya, dan Milo mungkin udah eneg dan empet semasa hidupnya nggak bisa berfungsi normal, eh sahabat seperjuanganya malah seger-seger aja dan pelit ngasih obat yang dia butuhkan.


Film Morbius ini terasa seperti film awal tahun 2000an yang entah bagaimana perilisanya ditunda terus menerus sampai akhirnya tahun 2022 ini baru bisa dirilis. Mungkin kalau dirilis di awal 2000an bisa sukses besar. Padahal Morbius ini punya potensi kalau saja Sony nggak bingung dalam mengerjakan Morbius. Yang harusnya menjadi manusia-vampir, Sony malah membuat Morbius seolah menjadi mannusia anti-vampir. Kebingungan Sony nggak sampai disini aja. Yang awalnya para audience dirancang untuk bersimpati dengan kelainan Morbius malah memilih untuk tidak merasakan penderitaan Morbius karena Morbius terasa lebih menikmati membunuh demi darah ketimbang mencari penawar dari suntikan DNA kelelawarnya.


Masuk 20 menit kedalam film, kita langsung disuguhkan oleh flashback ke 25 tahun lalu, masa kecil Morbius dan pertemuan pertamanya dengan Milo. Kalau saja adegan flashback ini disajikan diawal film, film ini tidak akan menerima kritik sekejam ini. Adegan flashbacknya terasa terlalu dipaksakan. Terlalu banyak adegan tidak penting yang dimasukkan kedalam film ini. Terlalu banyak pula plot hole yang ngeselin dan membuat film ini seolah tak punya arah. Yang paling mengganggu adalah ending dari film ini. Morbius cuma menyuntikan penawar ke Milo (yang kayaknya udah mati), sementara dirinya sendiri pergi entah kemana. Seperti menguatkan opini tentang Morbius yang memilih keegoisanya ketimbang menyelamatkan dirinya sendiri atau just simply doing good deeds.


Kalau ditanya, "worth to watch nggak nih?" nggak. Mending uang 50.000nya buat nonton film lain. Kalau buat sekadar weekend-movie sih sah-sah aja tapi jangan sampai berekspektasi tinggi sama film ini. Gue sendiri nggak begitu kecewa karena memang dari awal masuk bioskop udah pasrah aja, mengingat promosinya cukup abal-abal dan kurang maknyus untuk ukuran adaptasi komik Marvel.

3.5/10.

Comments


bottom of page