Top Gun: Maverick Review
- Ari W.P
- Aug 12, 2022
- 6 min read
Updated: Oct 18, 2022
Hello-hello! Minggu kemaren jadi minggu yang paling exciting selama 2022 ini, karena Top Gun: Maverick akhirnya rilis juga. Salah satu sequel yang paling ditunggu sama khalayak ramai sejak 2 tahun lalu. Penayangannya terus diundur karena masih pandemi, maka dari itu, Paramount tadinya mau ngebikin TG: Maverick ini cuma tayang kurang lebih sebulan di bioskop dan langsung dioper ke streaming service. Tapi Om Cruise selaku produser nggak setuju dan merasa film ini adalah ‘film bioskop’ untuk menikmati pengalaman menontonnya.
(Edit: Ini di post ditanggal 26 Juli 2022, dan nonton 4x)
(Edit: Ini dipost ditanggal 11 Agustus 2022, udah nonton 7x hehe)

Anyway, seperti biasa. Mau disclaimer dulu kalau tulisan ini mengandung spoiler. Jadi, buat yang belum nonton, dan nggak mau kena spoiler, boleh pencet tombol back.
Such a highly anticipated film, walaupun gue nggak kesampaian buat nonton dihari pertama, namun dihari ketigapun theatrenya masih penuh. Demografinya cukup sesuai dengan yang diduga sih, mayoritas penonton-penonton pertamanya bapak-bapak, ibu-ibu yang sekiranya umur 40an akhir. Walaupun begitu, film ini terbilang aman untuk semua umur.
Top Gun: Maverick mengisahkan perjalanan Maverick, yang udah jadi kapten dari sekolah penerbangan Top Gun atau yang formalnya disebut The United States Navy Strike Fighter Tactics Instructor program (SFTI program). Maverick dipanggil oleh Ice untuk mengajari anak-anak baru yang dianggap terbaik dari yang terbaik.
Mav dipanggil untuk ngajarin misi yang mematikan. Awalnya Cyclone (Jon Hamm) sempet ragu apakah misi ini bisa diselesaikan. Tapi Mav meyakinkan Cyclone dan young mavericks kalau misi ini bisa dilakukan, dan mereka akan pulang dengan selamat. Dengan jangka waktu pelatihan yang hanya 3 minggu, waktu bukanlah musuh utama Maverick, tapi ia juga harus berkompromi dengan trauma masa lalunya dan janji yang pernah ia buat dengan istri Goose sebelum meninggal.
Sejak tulisan ini dibuat, Top Gun: Maverick sudah berhasil mencetak penghasilan lebih dari $1.3 BILLION dollar dengan lebih dari $600 juta dollar penghasilan domestik, menduduki posisi ke-7 film terlaris sepanjang masa di US menggeser Titanic turun ke nomor 8. Penghasilan ini berhasil diraup kurang dari 4 bulan. Top Gun: Maverick menjadi salah satu film paling sukses pada dekade ini, baik dari segi kualitas, critical reception maupun komersial.
Rasanya nggak lengkap kalau kita nggak ngebahas faktor-faktor kesuksesan Top Gun: Maverick ini. Ada beberapa faktor yang rasanya jadi esensi utama atas kesuksesan masif film garapan Joseph Kosinski ini.
Pertama, Top Gun: Maverick berhasil mematahkan kutukan sequel tidak akan pernah berhasil mengikuti kesuksesan film pendahulunya yang sudah menjadi semacam legenda di Hollywood. Malahan, Top Gun: Maverick did better than the first Top Gun. Kalau film pertamanya lebih fokus ke adegan aksi, Top Gun: Maverick nggak melupakan elemen drama dan kehidupan yang jadi fondasi dalam alurnya. Audience jadi lebih emotionally-invested-in ke plotnya karena bisa melihat sisi personal Maverick.

Kedua, nostalgic tapi tidak berlebihan. Kebanyakan film sequel Hollywood gagal karena produsernya berpikir kalau menaruh segala referensi film pertama kedalam film sequelnya akan menjual film sequel. Sehingga film sequelnya kekurangan karakteristik yang berakhir mudah terlupakan oleh audience. Top Gun: Maverick berhasil menunjukkan bahwa adegan-adegan barunya boleh mereferensikan film pertamanya, namun tetap punya esensi dan karakter pembeda. Misal, adegan volleyball pantai. Di film pertama, pertandingan volleyball didasari oleh persaingan sengit antara Ice dan Maverick. Di film sequelnya, adegan dogfight di pantai adalah ide dari Maverick sebagai salah satu metode mengajar para siswa-siswi terbaik (selanjutnya akan disebut sebagai “Young Mavericks”). Scene yang serupa, namun punya warna yang berbeda dan tujuan yang berbeda.
Ketiga, totalitas antar cast. Kabarnya, banyak aktor yang mundur karena harus mengikuti training a la Navy Aviator yang sebenarnya sebelum syuting film ini. Fun fact, Tom Cruise membuat program training khusus yang mempelajari materi Navy Aviator untuk 3 tahun, yang diterapkan ke para cast hanya dalam 5-6 bulan. (Another fun fact: Penggarapan film ini terhitung nggak sebentar. di 2010, Bruckheimer, Cruise dan Scott udah mulai merencanakan sequelnya. Namun karena Scott meninggal di tahun 2012, rencana sequel Top Gun ini sempet mandek. Lalu di 2016, Kosinski dipilih langsung oleh Cruise untuk menghandle project sequel ini. 2017 mulai syuting dan awalnya direncanakan rilis di tahun 2020. Karena pandemi masih tinggi-tingginya, akhirnya diundurlah sampai ke Mei 2022).
Keempat, karakter-karakter baru yang menarik. Walaupun judulnya Maverick, berpusat utama tentang kehidupan Maverick, sang sutradara, para penulis, berhasil membuat karakter-karakter baru tidak sekadar lewat atau pemanis cerita. Ada kisah lucu saat masih proses syuting. Glen Powell awalnya ikut audisi buat karakter Rooster. Tapi ternyata yang terpilih adalah Miles Teller. According to Glen himself, dia sempet ngambek dan nurunin sebagian besar poster-poster Tom Cruise dikamarnya. Nggak lama setelah itu, Glen dapet call langsung dari Tom, Tom bilang kalau Glen akan tetap diterims buat main di Top Gun: Maverick dan akan dibuatkan karakter yang unik dan spesial. Tom berhasil menepati janjinya. Beneran deh, setiap karakter baru, terutama Young Mavericks di Top Gun: Maverick ini unik, kadang sifatnya bertabrakan satu sama lain tapi benar-benar ditulis setotalitas mungkin. Tanpa kita liat visualnya, baca dari dialog karakter-karakternyapun kita bakal bisa nebak siapa yang lagi berdialog.
Kelima, karakter-karakter beragam yang bebas dari trope mainstream. This might be a hot take, tapi rasanya nggak afdol kalau poin ini nggak disenggol. Beberapa tahun terakhir, Hollywood lagi gencar-gencarnya merubah image mereka dari yang all white, straight, male dominating menjadi lebih beragam (diverse). Tentu, niatnya baik, tapi sebagian besar eksekusinya gatot alias gagal total. Yang tadinya ingin mau menunjukkan kalau suatu film ini penuh representasi yang beragam, malah ngebuat karakter-karakternya full of stereotypical trope (nggak perlu disebut lah ya film mana-mana). Atau bahkan sebaliknya, but not in a good way. Untungnya, Top Gun: Maverick tahu cara membuat castnya cukup diverse tanpa seolah memaksakan atau terlihat menjual political correctness demi press dan cuan. Bisa kita lihat dari karakter Phoenix, walaupun sebagian besar teman-teman seperjuangannya di Top Gun adalah laki-laki, karakter Phoenix nggak dibuat seakan dia lebih superior dari yang lainnya hanya karena dia perempuan. Phoenix diperlakukan secara adil oleh instruktur-instrukturnya, teman-temannya karena dia adalah Natasha “Phoenix” Trace, bukan sebagai “Phoenix si pilot cewek”. Penny yang jadi love interestpun nggak dibikin agresif, namun tidak menye-menye. Begitupun dengan perbedaan ras antar karakter Top Gun. Ada Fritz, Yale, Halo yang keturunan Asia. Payback, Hondo, Warlock, Coyote yang berkulit hitam. Ada Fanboy yang keturunan Latino. Tapi keberagaman inipun tidak dijadikan selling point untuk menggaet masa, instead, Top Gun: Maverick terus menjual cerita dan aspek-aspek filmografi yang lebih dari kata masterpiece. Banyak audience yang merasa representasi di Top Gun: Maverick ini adalah representasi yang seharusnya dilakukan Hollywood.

Teknik film yang digarap tanpa CGI. Di abad ke 21 ini yang namanya CGI tentu udah berkembang pesat. Bahkan, bisa dibilang hampir semua film Hollywood zaman sekarang pasti sudah kena sentuh CGI. Tentu, tujuannya biar filmnya mulus tanpa goresan sedikitpun dan untuk alasan praktikal juga. Kalau kata Kosinski, kalau film ini pake CGI sih bisa-bisa aja. Malah akan lebih hemat budget. Tapi entah ya, namanya juga Tom Cruise. Nggak ada kata “setengah-setengah” didalam kamusnya Tom. Tom maunya syuting pake pesawat beneran, pake deck Navy Seal beneran dan kayak di poin ketiga, aktor-aktornya harus beneran naik mengudara dan syuting sendiri. Fun fact, di setiap jet yang dinaiki para cast, dipasang 7 buah kamera IMAX yang dirancang khusus oleh tim produksi Top Gun: Maverick yang memungkinkan para cast untuk mendireksi dan mengatur kameranya sendiri selagi mengudara. Yang nanti hasil footagenya akan dilihat, direview dan direvisi sama Kosinski setelah mereka mendarat. Hal semacam ini bisa dibilang nyaris punah di Hollywood saat ini. Jadi pengalaman tersendiri buat audience, dan efeknya, kita jadi lebih mengapresiasi kerja keras para tim produksi dan aktor-aktornya. Dimana semua kostum, set, bahkan pengambilan footage-nya benar-benar otentik, tanpa sentuhan CGI sedikitpun. Hal ini jadi poin plus buat audience. Audience jadi bisa seolah ngerasain berada di kokpit jet-jet tempurnya Maverick dan Young Mavericks. Nggak luput sama efek-efek diluar dugaan seperti ini yang menambah keseruan experience para audience.

Fun fact, plafon pos yang terbang ini beneran terjadi tanpa disengaja. Kata Ed Harris (Radmr. Hammer), adegan ini nggak bisa direshoot karena pos dan setnya setelah pesawatnya lewat ini bener bener hancur lebur. Betul kata Tom, film ini adalah film yang meant to be watched at the cinema. As if it was made exclusively for the cinema. Dari audio, cinematography, character development, nostalgia, soundtracks, benar-benar juara. Tentu peran syuting tanpa CGI ini berkontribusi besar dengan audio yang gila-gilaan. Selama nonton, kita bisa ngerasain vibrasi dari mesin pesawat. Dan kita juga bisa ngerasain, gimana sih rasanya berada di 9G atau bahkan 10G. Dari suara ngos-ngosan para Young Mavericks saat latihan, dogfight, sampai touchdown terakhir yang berhasil ngebuat control tower Top Gun sempet geter lumayan kencang.
Easily, one of the best movies I’ve ever watch, and so far, the best movie in the 21st century.
Khusus untuk film ini, nggak bisa dispoil banyak-banyak karena ini memang tipe film yang harus ditonton di bioskop supaya dapet adrenalin dan thrill-nya. Memang, Tom Cruise sendiri juga meminta distributor film ini yaitu Paramount Pictures untuk menayangkan Top Gun: Maverick minimal 3 bulan di bioskop.
Easily, one of the best movies I’ve ever watched, and so far, the best movie in the 21st century.
1000/10
Comments